Mengenal Hakikat Esai sebagai Bangunan yang Menawarkan Ruang dengan Penuh Cita Rasa


      Mungkin sekali banyak orang yang terperangkap dalam skema tulisan yang terlibat dalam kesesatan, keluar dari tujuan awal, atau bahkan tidak sesuai dengan sesuatu yang dipahaminya sejak semula. Hal ini merumuskan dan mengindikasikan bahwa tidak sedikit pula orang yang hendak menulis esai, tetapi justru terjerembab pada sesuatu yang bukan esai. Begitu pula sebaliknya, mungkin banyak orang yang membuat sebuah tulisan yang berbentuk esai, tetapi penulisnya tidak menyadari bahwa sesuatu yang ditulisnya adalah esai. Kekeliruan dan ketidakpahaman ini layaknya kawan karib bagi manusia. Keberadaannya tidak pernah absen merongrong, apalagi jika dikaitkan dengan hakikat manusia sebagai makhluk yang tidak selalu sempurna, lepas dari kesalahan.

    Semestinya kecenderungan anggapan manusia yang memandang keterlibatan manusia dalam ketidaksempurnaan sebagai sesuatu yang wajar jangan selalu dijadikan kambing hitam dan dalih untuk untuk mendapatkan pewajaran sekaligus pembenaran. Ibarat orang yang hendak mempersunting seseorang untuk menjadi pasangan hidupnya, orang yang akan menulis esai setidaknya harus mengenal jati diri esai, sesuatu yang akan bercengkerama dengannya secara intim.  Ketidakmengenalan terhadap sesuatu yang akan dipersunting hanya akan membawa seseorang pada keabstrakkan, kekaburan, kesesatan, atau bahkan pada kesia-siaan belaka. Pemahaman terhadap jati diri esai menjadi syarat mutlak agar bisa menghasilkan tulisan yang benar-benar esai, terlebih lagi esai yang gemilang dan penuh cita rasa.

Sejauh ini dalam perkembangannya, sudah banyak ahli yang merumuskan pemikirannya mengenai esai, satu di antaranya adalah Ignas Kleden. Ignas Kleden merumuskan pemikirannya tentang esai di dalam esainya yang berjudul “Esai: Godaan Subjektivitas”. Di awal esainya Kleden merumuskan esai sebagai sesuatu yang lahir dari kespontanitasan, bukan dari rencana penulisan yang ketat. Esai dalam pemikiran Kleden lahir karena keinginan untuk berkata-kata, semacam obrolan dalam bentuk tulisan. Rumusan yang disampaikan Kleden ini mengindikasikan sesuatu yang renyah, tidak kaku, menarik, membumi, dan tentu saja cair. Obrolan dalam tulisan akan membawa diri pada nuansa kenyamanan, membebaskan diri dari sesuatu yang mendikte, dan menawarkan sebuah aktualisasi diri.

Pandangan tentang esai sebagai obrolan dalam bentuk tulisan tidak bisa ditampik begitu saja. Esais, orang yang menulis esai, menjadi corong yang memainkan permasalahan di dalam esai. Esais berdialog dengan permasalahan itu sesuai dengan tempatnya masing-masing, sesuai dengan sudut pandangnya yang berakhir pada pemberian respons terhadap permasalahan yang diangkat. Respons sebagai tindak lanjut dari obrolan itu dapat mencakup keterpesonaan, kesenangan, setuju atau tidak setuju, hematnya hal yang menjadi persoalan itu patut untuk dicontoh atau bahkan lebih layak untuk ditinggalkan, dan respons yang lainnya. Respons-respons itu yang menyulap esai menjadi tulisan yang penuh dengan cita rasa dan kegemilangan. Respons menjiwai sekaligus menjadi sesuatu yang menonjol dari sebuah esai. Tidak ayal, absennya respons seorang penulis hanya akan menghasilkan esai yang kehilangan daya obrolnya, kehilangan jati dirinya.

Berbagai respons itu diolah dengan daya subjektivitas penulis. Oleh karena itu, bukan suatu keheranan apabila Kleden di dalam esainya itu menyebut subjektivitas sebagai gagasan yang memberikan watak yang khas kepada esai. Subjektivitas hadir dengan mengaktualisasikan diri sebagai nyawa sekaligus napas yang menghidupkan esai. Tanpa subjektivitas sama sekali, sebuah tulisan tidak akan pernah terlahir sebagai esai, terlebih lagi esai yang penuh cita rasa dan kegemilangan. Subjektivitas mengambil peran untuk memberikan sentuhan dan menghidupkan cita rasa dalam esai.

Dengan nada penuh kepastian, kesegaran ucap dan daya pikir, Kleden membawa pembaca esainya pada ruang pemahaman tentang esai yang menggembirakan. Kleden melukiskan dan merumuskan esai sebagai sesuatu yang bertalian dengan kisah suka-duka perjumpaan seorang subjek dan sebuah objek (permasalahan) cerita tentang pengalaman interaksi yang penuh canda di antara keduanya. Tawaran Kleden ini juga sulit untuk ditampik dan lenyap dari penerimaan. Sebagai sesuatu yang menjadi tempat berdialog, di dalam tulisan esai, seorang esais tidak sekadar mengamati objek yang menjadi permasalahan, tetapi juga bertemu, terlibat, mengajak objek permasalahannya berbicara. Spontanitas, kejujuran sikap, sampai pada tingkah pola yang merebut simpati agaknya menjadi hal lain yang melahirkan tulisan yang benar-benar esai. Hal-hal itu yang menghidupkan esai dengan kekayaan cita rasa. Kekayaan cita rasa ini menjadi ciri khas esai yang membedakannya dari jenis tulisan lain, baik itu tulisan ilmiah maupun puisi. Berbagai subjektivitas sebagai bentuk respons, bermain di dalamnya dengan penuh kegembiraan sehingga melahirkan kedayapikatan esai.

Berbagai subjektivitas yang bermain dengan penuh kegembiraan dalam mengutarakan gagasan itu tadi menarik kejelasan kehadiran penulis di dalam esai yang dibuatnya. Kepribadian yang dimiliki oleh penulis pun tidak absen memengaruhi keberhasilan esai.  Penulis dan permasalahan yang diangkatnya sama-sama turut terlibat secara intens. Antara penulis dengan sesuatu yang ditulisnya itu tidak mempunyai jarak. Keterlibatan jarak dalam penulisan yang dimaksud sebagai esai hanya akan melahirkan sesuatu yang cacat, tulisannya bukan esai, melainkan tulisan ilmiah. 

Berkaitan dengan persoalan ruang objektivitas sebagai ciri khas tulisan ilmiah dan subjektivitas sebagai ciri utama puisi serta persoalan bahasa dalam konsep ilmu pengetahuan yang formal dan puisi yang bebas, Kleden menyebut esai menghormati keduanya. Agaknya pemikiran Kleden ini memang mewadahi dua hal yang pada hakikatnya saling berlawanan. Uniknya esai, ia bisa mewujudkan dirinya dalam dialektika antara objektivitas dan subjektivitas. Esai melakukan tawar-menawar antara konsep yang formal dan lugas dengan sesuatu yang bebas. Keduanya bisa berbaur dan hidup secara berdampingan, tanpa mematikan satu sama lain. Tidak heran, konsep esai yang tidak terikat pada salah satu aspek saja ini pada akhirnya menjadikan esai sebagai tulisan yang menempati ruang dengan kemerdekaan di dalamnya, menempati ruang dengan sifat demokratis sebagai penengahnya, menempati ruang yang bisa menjadi tempat bagi orang-orang tanpa harus merisaukan latar belakangnya. Esai menawarkan bangunan dengan ruang yang penuh dengan cita rasa di dalamnya.

Oleh karena itu, menyebut esai sebagai rumah dan tempat pergaulan yang menyenangkan serta memberi ruang untuk segala hal dan semua orang dengan berbagai latar belakang bukanlah hal yang berlebihan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen "Metamorfosa"

KKPK: Jalin Kelindan Antara Angin Segar yang Memabukkan dan Kegelapan yang Tak Bertepi

Tubuh adalah Situasi: Subjektivitas Perempuan Menurut Simone de Beauvoir

Manifestasi Dialogisme Bakhtin: Dari Dasar Pemikiran hingga Wujud Teorinya