KKPK: Jalin Kelindan Antara Angin Segar yang Memabukkan dan Kegelapan yang Tak Bertepi

 “Give us books,” say the children, “give us wings.”1

Betapa menggetarkan ungkapan di atas: bombastis sekaligus mengkhawatirkan. Bombastis sebab ungkapan metaforis itu secara pasti menyuarakan dan melegalkan kebutuhan anak akan bacaan. Melalui kesempatan berfantasi lewat cerita, dengan polos, riang gembira, dan gagahnya, anak dapat terbang bebas mengarungi dunia tanpa kerisauan. Mengkhawatirkan sebab tidak sedikit ruang dalam cerita itu justru menawarkan spektrum kegelapan yang dapat membawa anak terbang ke sisi-sisi dunia yang bias dan mengerikan.

Di dunia yang fana ini manusia membumi bersama cerita. Cerita menjelma menjadi bagian dari daging manusia yang turut membangun, mendokumentasikan, serta mengekalkan suatu pemikiran dan peradaban. Tidak akan ada cerita tanpa manusia dan tidak ada manusia tanpa cerita. Bahkan, manusia besar dan sejati adalah manusia yang tumbuh dengan cerita-cerita, dengan dongeng-dongeng, dengan kisah-kisah.

Semua orang, tanpa terkecuali, butuh dan senang dengan cerita, terutama anak-anak sebagai makhluk belia yang sedang berada dalam masa-masa yang menentukan; masa-masa emas pertumbuhan dan perkembangan; masa-masa peka untuk memperoleh, memupuk, mengembangkan, dan menyelami berbagai aspek kehidupan. Cerita sebagai bagian dari sastra, tidak lahir dalam keadaan hampa dan kosong. Cerita menawarkan sekaligus mendialogkan kehidupan dengan cara-cara yang konkret, artistik, menarik, dan penuh penghayatan. Hal inilah yang kemudian menjadi magnet yang menarik orang-orang di muka bumi ini untuk turut mencintai dunia cerita.

Di dalam khazanah sastra ada yang disebut dengan sastra anak, sastra terbaik yang diusahakan dengan penuh kehati-hatian karena membutuhkan pemafhuman yang penuh atas dunia dan kehidupan anak-anak yang notabene khas, unik, sekaligus kompleks. Sebagaimana namanya, sastra anak merupakan sastra yang sangat khas yang dibuat pertama-tama khusus untuk anak-anak. Apapun narasi dan cerita yang dibangun di dalam sastra anak, haruslah berangkat dari kacamata atau sudut pandang anak dalam memandang dan memperlakukan sesuatu, sebab hal itulah yang menjadi isu fundamental sastra anak.  Kiranya menjadi hal yang mutlak bahwa segala sesuatu yang disampaikan di dalamnya harus berada dalam ranah jangkauan penerimaan dan pemahaman emosional serta pikiran anak tanpa menimbulkan kegagalan persepsi.

Tidak berbeda dari orang dewasa, anak-anak juga membutuhkan berbagai informasi yang berkenaan dengan dunia dan sendi-sendi kehidupan, tentang sesuatu dan peristiwa yang ada dan terjadi di sekelilingnya. Sastra anak sebagai entitas yang berbicara tentang hidup, tentang lingkungan kehidupan di sekitar manusia, tentang berbagai persoalan manusia, tentang kehidupan pada galibnya ini mempunyai andil yang besar untuk memenuhi kebutuhan sekaligus hak anak itu. Sastra anak menempati kedudukan yang krusial dalam membentuk persepsi dan pemahaman anak tentang berbagai hal, tentang kehidupan, dan dunia yang berada di sekeliling mereka. Ketidakmampuan dalam mengonstruksikan dunia untuk anak, hanya akan melahirkan kekosongan: kegagalan hasil yang akan didapat oleh anak. Dan sampai sekarang, hal itu masih terus menggema, menghantui eksistensi sastra anak dunia, terlebih Indonesia.

Banyak ahli yang memproklamasikan sastra anak secara normatif. Katanya, sastra anak itu pertama-tama harus mendidik, mampu mengonstruksikan imajinasi, menorehkan stimulus, dan mengaktualisasikan informasi2. Sebenarnya, semua itu bisa dipadatkan. Intinya sastra anak harus menarik anak. Hal inilah yang dalam praktiknya kerap kali gagal dimanifestasikan dalam sastra anak. Memahami dan menciptakan dunia anak tidaklah sesederhana merumuskan “ini capung”, “ini gajah”, atau “ini kucing”. Meskipun seyogiyanya orang dewasa mempunyai pengalaman dan dekat sekali dengan dunia anak, bukan hanya karena dulunya pernah menjadi anak, melainkan terutama karena orang dewasa dalam berbagai situasi, kesempatan, dan kedudukan: pernah menjadi guru, orang tua, sahabat, pembimbing, kakak, paman, bibi, atau pemerhati anak-anak, bukan berarti orang dewasa bisa paham betul tentang dunia anak dan menciptakan narasi cerita sesuai dengan konteks budaya anak-anak.

Sebagai entitas yang dasar, orang menaruh keyakinan yang mendalam pada sastra anak. Mereka meyakini sastra anak sebagai sesuatu yang mempunyai kontribusi dan andil yang sangat besar bagi pembentukan kepribadian anak selama proses pendewasaan sebagai makhluk yang mempunyai jati diri yang jelas. Menggelitiknya, keyakinan yang membabi buta inilah yang justru membuat kehati-hatain mereka mengalami degradasi dan pada akhirnya menggiring mereka pada jurang, pada sisi dunia yang gelap. Pada jurang kegagalan atas pembangunan dunia yang bias, dunia yang mengerikan.

 Dalam sastra anak yang berbentuk cerita fiksi—bacaan atau film—, misalnya, konstruksi situasi kehidupan disuguhkan melalui rangkaian cerita yang melibatkan berbagai tokoh. Keteladanan dalam sastra anak diperlihatkan melalui sikap dan perilaku tokoh-tokoh yang ditampilkan dengan karakter dan latar belakangnya masing-masing. Melalui itu, anak dapat mengerti dan belajar mengenai aspek-aspek kehidupan, hubungan dalam masyarakat, individu, dan kasus-kasus yang ada. Yang kemudian jadi persoalan adalah kecenderungan anak untuk melakukan imitasi terhadap tokoh-tokoh dan cerita yang disukainya. Akan sangat berbahaya apabila ternyata tokoh atau cerita tersebut menyajikan problematika dan tindakan yang mengarah pada hal-hal yang cenderung memberikan konotasi dan dampak yang kurang baik bagi perkembangan diri anak. Syukur-syukur, apabila proses imitasi itu hanya sebatas tindakan sepintas lalu, sebab apabila berkepanjangan hanya akan manjadi bisa yang mematikan dan merusak kedirian anak. Contohnya, pernah terjadi kasus seorang anak mengikat temannya di pohon, lalu dengan polosnya ia membakar temannya itu. Ironisnya, perbuatan keji itu justru dilakukan anak karena ia meniru hal yang dilakukan oleh tokoh kartun yang disukainya. Apabila sudah seperti itu, matilah hakikat dan peran dari sastra anak yang mengonsentrasikan diri untuk turut membangun jati diri manusia yang jelas dan sejati. Lantas, bagaimana sekiranya dengan sastra anak di Indonesia?

 

Geliat Sastra Anak Indonesia

Ada satu kegelisahan yang sampai sekarang belum pernah absen menghantui sastra anak Indonesia, baik itu dalam ranah sastra anak tradisional yang berbentuk folklor maupun sastra anak Indonesia modern. Hingga saat ini geliat perkembangannya belum memberikan penanda yang menggembirakan dan melegakan. Dunia dalam sastra anak tradisional, terlebih lagi cerita-cerita yang berkembang dalam bentuk folklor, merupakan konstruksi dunia yang sebenarnya—sebagian besar—amoral. Tidak dapat disangsikan, sejak duduk di bangku sekolah dasar, anak-anak di Indonesia sudah sangat akrab sekali dengan perilaku balas dendam, perpeloncoan, saling bunuh, sampai tindakan inses. Cerita-cerita tersebut banyak dituturkan oleh guru-guru, orang tua, bahkan tersebar dalam buku-buku pelajaran yang diklaim untuk anak. Menggelitiknya, berbagai tindakan yang betapapun amoralnya itu bisa dengan mudahnya diloloskan, tanpa berpikir apalagi debat berpanjang-panjang.

Memang, untuk menumbuhkan dan mengembangkan moralitas anak, tidak selamanya harus menampilkan segala hal yang baik-baik saja, sebab standar baik baru ada ketika standar buruk ada dan standar buruk baru ada ketika standar baik ada. Menampilkan sesuatu yang buruk juga tidak masalah, dengan catatan, hal itu dikembangkan dengan narasi yang jelas dan anak mendapatkan pendampingan dari orang dewasa yang berperan sebagai pawang yang menegasikan hal buruk itu dengan hal-hal yang semestinya. Dengan kata lain, secara eksplisit, mengajarkan dualitas buruk dan baik, hitam dan putih melalui proses banding-membandingkan di antara keduanya. Namun, tentu hal itu tidak akan pernah berjalan, apabila orang dewasa dengan polos dan keukeuhnya tetap membiarkan dan absen memberikan penjelasan.

Apabila folklor bermasalah dari segi isi, sastra anak Indonesia modern justru belum menunjukkan geliat kesuburan dan kemasifan. Sampai saat ini, belum banyak orang Indonensia yang mendedikasikan dirinya untuk terjun dalam dunia anak dengan menulis sastra anak. Hal ini berbanding terbalik dengan sastra anak luar yang justru mengalami perkembangan yang pesat dan menjamur dengan masifnya. Dunia luar banyak sekali melahirkan penulis sastra anak, bahkan ranah sastra anak di Indonesia sendiri didominasi oleh karya-karya terjemahan. Hal ini tentu saja sebuah ironi, kespetakuleran dan kemasifan sastra anak luar, bukan berarti harus membuat Indonesia loyo dan bersantai dalam menghasilkan sastra anak yang berkualitas. Namun, seoptimal mungkin harus turut melahirkan karya-karya yang juga bermutu sehingga ungkapan metaforis “Give us books,” say the children, “give us wings” tidak hanya sekadar menjadi wacana omong kosong yang menjemukan belaka.

Untunglah, di tengah-tengah kekelaman dan kemandegan sastra anak Indonesia, lahir sebuah gejala yang bisa dibilang cukup menyegarkan dan menggembirakan. Bagaimana tidak menyegarkan, gejala tersebut mengindikasikan lahirnya geliat penulisan sastra anak yang ditulis oleh anak-anak. Hadirnya anak-anak yang aktif menulis untuk rekannya yang sebaya, tentu menggembirakan, sebab menjadi warna tersendiri dan memperkaya khazanah sastra anak Indonesia yang sebelumnya banyak ditulis oleh orang dewasa.

Sejauh pengakuan dan pengamatan, orang dewasa selalu mengukuhkan diri bahwa dirinya menulis sastra anak dengan menarasikan peristiwa yang relevan dan menarik anak, yang mampu mendukung daya pikir serta imajinasi anak. Sayangnya, hal itu runtuh seketika dengan kecenderungan mereka yang acap kali mengonstuksikan cerita dengan sangat didaktis—mendikte anak—sekali sehingga bukan suatu keganjilan manakala dunia yang terbangun justru adalah dunia cerita yang monoton dan kurang berkembang. Penelantaran terhadap perkembangan imajinasi anak juga masih menjadi masalah yang turut meramaikan kemelut sastra anak Indonesia dewasa ini. Lalu, bagaimana dengan cerita yang ditulis oleh anak-anak? Bagaimana kecenderungan mereka membangun dunia mereka sendiri?


KKPK: Godaan Angin Segar yang Memabukkan

Sejak tahun 2000 sastra anak Indonesia menunjukkan kehidupan dan pertumbuhan baru, yaitu kelahiran penulis anak-anak. Tentu, ini gejala yang sangat bombastis. Menggejala dan menjamurnya fenomena penulis berusia anak-anak yang menulis untuk rekan sebayanya ini membuat sastra anak semakin semarak dan digemari anak. Hal ini bukan suatu keganjilan, kegaliban anak-anak yang cenderung menulis sesuatu yang mereka alami sendiri secara langsung membuat cerita yang dinarasikan tampak polos seperti berdialog biasa sehingga dengan lebih mudah diterima dan dipahami oleh pembaca yang sebaya. Lebih jauh dari itu, sastra anak yang ditulis oleh anak-anak mendapatkan ruang yang sangat terbuka di kalangan masyarakat, terlebih dari adanya anggapan yang tumbuh subur di dalam benak mereka: sastra anak yang ditulis oleh anak sudah pasti cocok dan aman dokonsumsi oleh anak. Sebenanrnya, ini adalah suatu kedilematisan baru yang mendarah daging di dalam tubuh masyarakat dalam meresepsi sastra anak yang ditulis oleh anak.

Angin segar yang melegakan masyarakat itu rupanya dikukuhkan oleh Yeni yang melakukan penelitian terhadap sastra anak Indonesia. Dalam penelitian yang dilakukannya, ia melihat konstruksi gender dalam 10 karya sastra anak, dengan proporsi 5 sastra anak yang ditulis oleh anak dan 5 sastra anak yang ditulis oleh orang dewasa. Hasil penelitiannya memperlihatkan persamaan dan perbedaan konstruksi gender yang dilakukan oleh penulis anak dan penulis dewasa dalam menulis cerita anak-anak. Persamaannya, kedua belah pihak sama-sama mempunyai kecenderungan menggunakan penamaan diri yang identik dengan jenis kelamin tertentu; sama-sama meniru konstruksi gender yang sudah umum di tengah masyarakat, misalnya laki-laki pemberani sementara perempuan cengeng; perempuan digambarkan harus mempunyai keterampilan yang berhubungan dengan kerumahtanggaan dan berperan sebagai ibu rumah tangga, sedangkan laki-laki sebagai pencari nafkah. Sementara itu, perbedaan di antara keduanya adalah sastra anak yang ditulis oleh anak cenderung lebih positif dalam menggambarkan perempuan. Perempuan dalam karangan penulis anak digambarkan sebagai sosok yang kuat, cerdas, bahkan mandiri, sedangkan dalam karangan orang dewasa perempuan dikonstruksikan sebagai sosok yang lemah, penakut, dan cengeng. Selain hal itu, sastra anak yang ditulis oleh anak juga cenderung menonjolkan peran egaliter, yaitu laki-laki dan perempuan mempunyai keinginan dan kesempatan yang sama untuk melakukan kegiatan dan dalam hal relasi gender, penulis anak lebih membangun  relasi gender yang setara dibandingkan dengan sastra anak yang ditulis oleh oranag dewasa3. Kecenderungan itu tentu menjadi sebuah gebrakan dan penanda positif bagi pertumbuhan peradaban manusia yang lebih peka terhadap gender.

Bukan suatu hal yang berlebihan agaknya apabila menyebut menggejalanya fenomena penulis anak sebagai sesuatu yang menarik dan memberi napas baru bagi khazanah sastra Indonesia, terutama sastra anak Indonesia modern, mengingat pada saat itu tidak banyak tulisan yang ditulis oleh penulis yang sebaya dengan anak. Seri Kecil-Kecil Punya Karya (KKPK) yang diterbitkan oleh DAR! Mizan menjadi satu di antara corong rumah yang mengawali geliat kelahiran penulis anak yang mempunyai rentang usia antara 7—12 tahun. Publikasi cerita seri KKPK ini tentu saja turut menyemarakkan dunia penerbitan sastra anak Indonesia yang ketika itu didominasi oleh sastra anak terjemahan.

Dua penulis cilik yang menguak jagat sastra Indonesia, oase di tengah-tengah gersangnya sastrawan kecil yang cukup memikat, adalah Sri Izzati dan Faiz.  Dalam seri KKPK awal, lahir buku berjudul Kado untuk Umi karya Sri Izzati dan Bunda dan Dunia karya Faiz. Kelahiran karya keduanya begitu mengejutkan sekaligus menggembirakan, mengingat mereka baru menginjak usia delapan tahun, tetapi keberanian dan kreativitasnya bisa dibilang mengagumkan, apalagi kita sama-sama menyadari buku yang menarik dan baik untuk pembaca anak itu sangat sulit ditemukan.

Dalam kumpulan buku puisi pertamanya, Faiz patut mendapatkan apresiasi yang tinggi. Meskipun puisi-puisi yang ditulisnya belum memperlihatkan kecenderungan konsistensi penataan emosi dan stilistik yang baik, terlebih lagi dalam hal pilihan kata, tetapi tema dan pikiran yang disajikan oleh Faiz sangat mengagumkan: matang dalam kepedulian, pemikiran, dan apresiasi. Hal ini tentu menjadi aset dan modal penting untuk dikembangkan dalam menjajal dan melahirkan sastra anak Indonesia yang bermutu.

Tulisan Sri Izzati sendiri, ditulis dalam logika dan bahasa yang tertata, begitu lincah mengaktualisasikan kekhasan dunia anak yang polos dan memikat. Sri Izzati membangun cerita dengan struktur yang kuat yang berlatarkan keluarga dan pergaulan anak yang pasti dengan mudah diterima dan dipahami oleh para pembaca anak, bahkan cerita yang dikandungnya dapat diteladani oleh pembaca yang bukan anak-anak lagi. Apabila seyogiyanya sastra anak dipahami sebagai karangan yang di dalamnya harus mengaktualisasikan informasi dan ajaran bagi perkembangan kepribadian anak, maka cerita yang dibangun oleh Sri Izzati telah sejak semula menumbuhkan dan melipatgandakan diri untuk mendidik para pembacanya dengan tidak menggurui, sebab semua itu hadir dari kejernihan relung hati dan pikiran terdalam seorang anak.

Anak-anak seperti itu, selain tentu berharga dan istimewa, juga sangat beruntung ditemukan dan mendapatkan fasilitas dalam menelurkan tulisan-tulisan dalam usianya yang masih sangat muda.  Kehadiran mereka dalam khazanah sastra Indonesia menjelama angin segar. Kesegaran itu menarik lahirnya penulis-penulis anak lain untuk turut serta menyemarakan geliat pesta sastra anak Indonesia.

Geliat pesta sastra anak Indonesia yang ditulis oleh anak-anak melalui seri KKPK masih mempunyai sisi terang yang mengaktualisasikan dan mengukuhkan sastra anak itu sebagai cerita yang cocok dan menarik bagi anak. Pada dasarnya, anak tidak terlalu suka didikte. Namun, permasalahan tersebesar dalam cerita yang diklaim untuk anak dan ditulis oleh orang dewasa umumnya cenderung menciptakan tokoh-tokoh yang justru menjadi objek tokoh orang dewasa dalam menyampaikan pesan atau nasihat kepada anak-anak. Hal tersebut berbanding terbalik dengan tokoh yang diciptakan oleh para penulis anak dalam seri KKPK, sebut saja misalnya Hadiah Juara Kelas (Farrel, 2011) yang menampilkan tokoh utama cerita sebagai sosok yang tidak menjadi objek tokoh dewasa dalam menyampaikan nasihat tertentu.

Sejauh pengamatan, keterbacaan KKPK sangat tinggi dan banyak digemari oleh anak-anak. Hal ini dapat terlihat dari semakin menjamurnya penulis dan karya yang dihasilkan. Setidaknya sampai detik ini sudah ada 500 lebih penulis dan 600 lebih judul yang lahir dalam KKPK4. Kepopuleran KKPK juga dapat dicermati dari laman Facebook KKPK yang setidaknya sudah disukai oleh 246.269 orang. Tentu, kepopuleran KKPK di kalangan pembaca anak ini sedikit banyaknya memberikan pengaruh kepada mereka. Tidak adanya sekat dan jarak usia yang signifikan antara pembaca dan penulis, membuat pembaca anak lebih mudah dalam mengidentifikasi diri dengan tokoh yang dihadirkan di dalam cerita.  Alhasil, kemudahan dalam identifikasi ini membuat pengaruh yang ditimbulkan pun akan semakin besar dan lebih rentan, baik itu dari segi pendidikan maupun pergaulan, karena ditinjau dari sisi psikologi, anak-anak sangat mudah sekali terpengaruh teman-teman sebayanya dibandingkan dengan orang dewasa yang dalam ruang lingkup hidupnya menulis cerita untuk anak-anak.

Beberapa kesegaran dan kegemilangan KKPK tadi telah mengiring animo masyarakat pada kemabukan akan gejolak warna baru, keuntungan, dan jurang persepsi yang bisa saja bias: cerita anak yang ditulis oleh anak untuk rekannya yang sebaya ini sudah pasti relevan dan cocok dengan anak, tanpa masalah yang merundunginya. Namun, apakah benar begitu adanya? 

 

KKPK: Sisi Gelap Dunia Ciptaan Anak

Dunia ciptaan anak. Betapa menggiurkan, menakjubkan, dan menawannya kalimat pendek itu. Anak, dengan kehidupannya yang cenderung polos, tetapi penuh daya imajinasi membangun sebuah dunia yang baginya menyenangkan dan tidak jarang menegangkan. Potensi anak untuk menulis dan menentukan ceritanya sendiri dapat memberi gambaran kepada orang dewasa tentang sebenarnya bagaimana anak-anak itu memandang dunia sekitarnya, tentang bagaimana situasi dunia yang menjadi tempat anak itu hidup, tentang bagaimana dunia dan kehidupan ideal menurut mereka. Tidak dapat dipungkiri, dunia ciptaan anak tidak akan lepas dan mengarah pada esensi serta nilai tertentu yang dalam praktiknya bertendensi pada dunia yang bias dan gelap.

Dewasa ini, isu gender menggema dalam khazanah sastra Indonesia. Telah banyak karya yang mengangkat isu gender lahir dan mewarnai konstentasi sastra Indonesia, tidak terlewat juga dalam ranah seri KKPK. Rupanya, kecenderungan penulis anak seri KKPK dalam mendialogkan wacana gender itu masih belum benar-benar menjadi angin segar yang melegakan. Pada satu sisi, beberapa anak menulis cerita dengan mendialogkan wacana gender secara positif yang mengarah pada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Misalnya, dalam cerita Nelissa’s Mate (Nilna, 2011), tokoh perempuan yang bernama Nelissa digambarkan sebagai sosok anak yang sangat banyak akal dan pemberani. Keberaniannya ini membuat ia mampu mebebaskan Morgan, sahabatnya, yang diculik. Tentu, penggambaran sosok perempuan ini bebas dari stereotipe yang dilekatkan oleh masyarakat patriarki yang mengganggap perempuan sebagai sosok yang lemah.

Namun, sejauh pengamatan, kecenderungan terbesar penulis anak dalam kaitannya dengan gender justru memberikan penggambaran tokoh berdasarkan stereotipikal yang diaktualisasikan oleh masyarakat patriarki, baik itu penampilan fisik, pekerjaan, minat, sampai pada sikap dan kepribadian. Misalnya, dalam cerita Petualangan Mencari Harta Karun (Farrel, 2011), sosok anak laki-laki dinarasikan sebagai sosok yang kuat dan anak perempuan sebagai sosok yang emosional sehingga pada saat terjadi sesuatu perempuan pasti akan menangis, sesuatu yang tabu bagi laki-laki. Penggambaran laki-laki dan perempuan berdasarkan stereotipe gender tradisional tidak hanya sampai di sana. Kalangan orang dewasa pada bagian yang lain—sebagian besar—juga digambarkan menurut konstruksi budaya patriarki: kehidupan ibu berada di ranah domestik dan kehidupan ayah berada di luar ranah domestik.

Para penulis anak dengan kepolosan dan daya imajinasinya ini turut memproduksi, merefleksikan, bahkan melegitimasi peran gender yang tradisional. Hal yang patut dikhawatirkan dan diwaspadai adalah korelasi antara kecenderungan anak dalam mengimitasi apa yang disuguhkan kepadanya dengan pesan yang dimuat di dalam cerita anak yang dibacanya. Anak, dalam hal ini, akan mendapatkan implikasi dan pengaruh dalam proses memahami sikap dan perilaku berbasis gender yang sesuai dengan gender yang berterima di masyarakat patriarki.  Kuatnya stereotipe gender akan mengungkung sekaligus menjerat kebebasan ruang gerak anak dalam mengekepresikan diri dan membentuk kepribadiannya sendiri sebagaimana kehendaknya, alih-alih sesuai warisan gender tradisional. Persepsi anak tentang makna menjadi seorang perempuan dan menjadi seorang laki-laki akhirnya disabotase dunia patriarki dan terus dilanggengkan karena tertanam dalam diri sejak mereka kecil.

Dunia patriarki yang gelap dan acap kali mengerikan, pada akhirnya tetap mendapatkan penghidupan yang nyaman, yang memberinya ruang untuk terus tumbuh subur, menggejala dalam buih-buih narasi imajinasi anak yang disajikan dalam cerita untuk rekan sebayanya. Laki-laki, dalam posisinya, tetap dikukuhkan sebagai makhluk yang lebih unggul dibandingkan perempuan. Kecenderungan itu mencoba mengekalkan ketidakadilan antara kaum laki-laki dan perempuan.

Paradoks dunia ciptaan anak yang bertendensi pada esensi dan nilai tertentu terus menggeliat dan menjalar dalam hamparan oase yang tidak hanya menyentuh titik stereotipe gender, tetapi juga ranah transnasional dan horizon kehidupan kelas atas. Dalam ranah transnasional sebagai bagian dari adanya pengaruh globalisasi, para penulis KKPK cenderung menyisipkan berbagai macam ekspresi, respons atau berita berbahasa Inggris di dalam cerita yang dibuatnya. Penggunaan bahasa Inggris ini kemudian dielaborasi dengan pembuatan judul dan subjudul cerita yang juga berbahasa Inggris.  Hal ini misalnya bisa dilihat dalam My Happy Life (Qodri, 2012) dan Doremi’s Friendship (Rahma, 2014).

Kecenderungan penggunaan bahasa Inggris tersebut tidak lepas dari lingkungan penulis di dunia nyatanya sebagai bentuk pengaruh dari globalisasi. Dalam hal ini, lingkungan penulis sangat dekat dengan hal-hal yang identik dengan penggunaan bahasa Inggris ketika mengungkapkan sesuatu apalagi di zaman seperti saat ini. Namun, hal itu juga tidak lepas dari anggapan yang mengatakan jika bahasa Inggris merupakan bahasa yang keren, bergengsi, modern, canggih, dan lebih superior dibandingkan bahasa Indonesia yang hanya berupa bahasa lokal—bukan bahasa internasional. Anggapan tersebutlah yang kemudian menggiring anak menggunakan bahasa asing dalam menyampaikan beberapa bagian cerita yang dibuatnya.

Adanya penggunaan bahasa Inggris sebagai bentuk ungkapan ekspresi maupun respons dalam cerita yang dibuat oleh anak—yang notabene berkewarganegaraan Indonesia—menunjukkan jika ia—penulis KKPK—tengah membranding diri dan tokoh-tokoh yang diciptakan dengan hal-hal yang menurutnya dapat menimbulkan ketakjuban dan decak kagum. Hal itu bertalian dengan perspektif yang menunjukkan jika bahasa Inggris mampu memberikan label keren dan bergengsi serta kesan level “atas” bagi para pemakainya, sebab tidak semua orang bisa menggunakan bahasa Inggris. Hal inilah yang kemudian menimbulkan kedilematisan, sebab secara tidak langsung hal itu dapat mengakibatkan “keagungan” dari bahasa Indonesia lambat laun luntur di mata anak-anak. Kecenderungan ini memperlihatkan anak yang mengonstruksikan dunia yang mengarah pada ideologi eksplisit atau nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh seorang anak.

Sebenarnya, penggunaan bahasa Inggris bukanlah masalah yang perlu dibesar-besarkan. Toh, itu adalah bahasa perhubungan dunia yang perlu dikuasai orang apabila hendak berkomunikasi dalam ranah global. Namun, anggapan yang demikian juga tidak sepenuhnya benar. Penambahan narasi di dalam cerita yang menyebutkan bahasa Inggris lebih bergengsi ketimbang bahasa Indonesia dan bahasa daerahlah yang mencuatkan persoalan yang tidak boleh dianggap remeh dan tidak bersalah.

Penggunaan bahasa Inggris oleh penulis KKPK dalam membuat judul dan dialog itu berkelindan dengan kebiasaan mereka yang rata-rata melegitimasi dan menciptakan horizon dunia kelas atas dalam narasi cerita yang dibuatnya. My Happy Life dan Doremi’s Friendship menunjukkan kecenderungan anak dalam menciptakan kehidupan dan latar belakang yang berasal dari keluarga kaya—berekonomi mapan—sehingga menimbulkan hal-hal yang sifatnya materialistik. Hal itu diwujudkan melalui perilaku tokoh-tokohnya yang memiliki benda material dan rata-rata—secara tidak langsung atau langsung—dipamerkan kepada yang lain. Pengambilan latar kelas atas ini tidak hanya terbatas pada dua judul cerita yang disebutkan tadi, tetapi juga mendominasi hampir seluruh cerita seri KKPK.

Kesan kehidupan yang diwarnai dengan kemudahan, kenyamanan, kemewahan, membranding diri dengan hal-hal yang keren, konsumtif, hedonis, dan sederet rutinitas kelas atas lainnya yang diperlihatkan berujung pada aspek yang mengarah pada kapitalis. Bagaimana di dalam cerita yang dibentuk anak yang berusia dini adalah anak-anak yang main ke mall—tanpa didampimgi orang tua—untuk shoppingspa, belanja di butik, di rumah terdapat ruang spa dan gim pribadi, makan di restoran, makan makanan mewah, memberikan hadiah yang harganya mahal (contoh: kaca mata bermerk, tiket konser band luar negeri, dan lain-lain), liburan ke luar negeri, makan di kafe, memiliki komputer pribadi, gadget pribadi, mobil pribadi, sekolah di sekolah elit yang di dalamnya terdapat mall, dan gaya hidup kelas atas lainnya5.

Hal tersebut tentu akan memberikan dampak yang cukup signifikan kepada para pembacanya, sebab secara tidak langsung bacaan anak itu turut memengaruhi dan membentuk karakter anak. Jika cerita yang disuguhkan mengarah pada hal-hal yang konsumtif, mewah, hedonis dampaknya akan membentuk anak di dunia nyata juga memiliki rutinitas yang mewah dan hedonis. Suguhan yang demikian rupanya meruntuhkan realitas yang sebenarnya sudah terbangun—hidup semua orang tidak semewah itu—dan dengan sangkilnya cerita anak yang ditulis oleh anak justru membentuk kewajaran serta “norma” baru yang tumbuh di dalam pikiran anak untuk hidup dalam budaya konsumtif.

Dalam hal itulah rupanya terjadi keambivalenan sekaligus kemirisan, sebab seri Kecil-Kecil Punya Karya sendiri ditulis oleh anak. Namun, bagaimana bisa seorang anak mampu berpikiran seperti itu. Dalam persepsi yang sekiranya dapat dirumuskan, ada beberapa faktor yang barangkali mengakibatkan anak bisa membuat cerita yang cenderung berlatar kemewahan. Pertama, pengaruh dari kehidupan global. Kedua, si penulis memang hidup dalam kemewahan sehingga bukan suatu keganjilan manakala ia juga membuat cerita yang mengarah pada kemewahan. Ketiga, itu sebagai bentuk pelampiasan hidup, artinya ketika di dunia nyata ia tidak bisa mendapatkan hal-hal yang demikian, maka ia membuatnya di dalam cerita yang bernarasikan kemewahan. Sebagaimana di film India yang menggambarkan hingar-bingar kegembiraan, kemewahan, tari-tarian, yang sangat kontras dengan realitas kehidupan sebenarnya—dirundung kemiskinan dan kemelaratan. Keempat, sebagai wujud ekpresi anak yang memandang jika kehidupan yang menyenangkan adalah kehidupan yang serba mewah, instan, dan “wah”. Kelima, adanya peran dari penerbit itu sendiri. Dalam hal ini, penerbit berperan sebagai pihak kapitalis—berkaitan dengan perannya yang juga mengubah dan merevisi cerita—atau pihak yang bekerja sama dengan pihak kapitalis. Yang mana, buku itu disasarkan pada anak-anak yang berekonomi menengah ke atas.

Cara-cara anak dalam memberikan gambaran mengenai kehidupan yang mewah merepresentasikan bahwa anak memandang jika kehidupan yang ideal, baik, indah, dan benar adalah kehidupan kelas atas. Hal ini mengukuhkan suatu nilai yang sebenarnya hidup, menggema, tumbuh subur, dan nyatanya dijunjung tinggi di dalam kehidupan sehari-hari anak pada umumnya.

Dominasi penggambaran kelas atas itu merekam kekelaman. Secara tidak langsung, cerita yang demikian telah melegalkan terjadinya kekerasan simbolik terhadap kelas bawah. Apalagi, di dalam cerita, tokoh pendukung yang berasal dari kelas bawah senantiasa digambarkan sebagai orang yang tidak berdaya atau lemah. Pada saat anak yang mempunyai latar belakang kelas bawah membaca cerita-cerita yang ditulis oleh penulis KKPK, mereka telah menjadi objek kekerasan simbolik. Anak-anak tersebut diajak membayangkan dan lebih jauh lagi “dipaksa” menginternalisasi nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan kelas atas, sesuatu yang sebenarnya belum pernah mereka lakukan.

Sampai di sini, ideologi dalam buku cerita anak yang ditulis oleh anak-anak mungkin bekerja pada tingkat tententu yang sama, yang pada akhirnya mengungkapkan dunia tempat mereka tinggal dan hidup. Buku cerita anak, bahkan ketika itu ditulis oleh anak-anak sekali pun tidak selamanya berada dalam ranah aman dikonsumsi, tidak boleh dianggap sepele, dan dipandang tidak bersalah. Hal ini berkaitan dengan dunia ciptaan anak yang rata-rata mengarah pada esensi dan nilai tertentu yang dalam praktiknya bertendensi pada dunia yang bias dan gelap. Apabila demikian, sudah siapkah melepas anak terbang bebas dengan buku, menyusuri dunia yang tidak pernah absen dirongrong keabu-abuan, kegelapan, bahkan kemengerikan.



Catatan:

Ungkapan yang dikemukakan oleh Paul Hazard pada tahun 1946. Lih. “The Gift Wings: Value of Literature to Children”, dalam Maurice Saxby dan Gordon Winch (eds). Give Them Wings, The Experience of Children’s Literature (Melbourne: The Macamillan Company, 1991).

Pusat Data dan Analisa Tempo, Menyusuri Buku Sastra Anak (Jakarta: TEMPO Publishing, 2019).

Yenni Hayati, Representasi Gender dalam Sastra Anak Indonesia (Padang: Penerbit FBS UNP, 2016).

Lih. “Tentang KKPK” di laman Rumah KKPK:  https://rumahkkpk.com/tentang/.

Perincian penggambaran kelas atas dalam beberapa cerita seri KKPK. Lih. novel berjudul My Happy Life yang ditulis oleh Nafhan Nurul Qodri (Bandung: DAR! Mizan, 2012). Lih. novel berjudul Doremi’s Friendship karya Adearizhta Widya Rachma (Bandung: Dar! Mizan, 2014).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen "Metamorfosa"

Tubuh adalah Situasi: Subjektivitas Perempuan Menurut Simone de Beauvoir

Manifestasi Dialogisme Bakhtin: Dari Dasar Pemikiran hingga Wujud Teorinya

Mengenal Hakikat Esai sebagai Bangunan yang Menawarkan Ruang dengan Penuh Cita Rasa