Manifestasi Dialogisme Bakhtin: Dari Dasar Pemikiran hingga Wujud Teorinya

 

        Berbicara tentang teori yang berada di tataran wilayah kajian budaya dan sastra, maka aliran Bakhtin tidak akan absen dari khazanah tataran tersebut. Aliran Bakhtin merupakan paham yang dikonstruksikan oleh sekumpulan sarjana Soviet yang bergerak pada akhir masa Formalisme Rusia pada tahun 1920 (Suwondo, 2001a:12). Sejak awal perkembangannya, aliran ini berupaya mensintesiskan dua aliran yang notabene saling kontradiksi. Kedua aliran yang dimaksud adalah Marxisme—aliran yang memandang bahwa kajian sastra tidak lain merupakan studi ideologis sehingga dalam praktiknya teks sastra ditempatkan dalam lingkungan ideologis yang keseluruhannya dikendalikan oleh struktur ekonomi masyarakat—dan formalisme—aliran yang menganggap karya sastra sebagai konstruksi bahasa sehingga teks sastra diperlakukan sebagai objek kajian yang otonom, lepas dari aspek-aspek di luar dirinya. Bakhtin dan Medvede (dalam Suwondo, 2001a:13) menjelaskan pensintesisan tersebut dilakukan atas dasar paradigma jika setiap wilayah ideologis memiliki rupa dan peralatan teknis, “bahasa”, dan hukum-hukum tersendiri bagi cerminan dan pembiasan ideologi terhadap realitas yang ijmal atau global. Dalam hal ini, ideologi tidak dapat dipisahkan dari bahasa sebagai mediumnya.

Hasil perkawinan antara Marxisme dan Formalisme ini melahirkan suatu konsep yang selanjutnya kita kenal dengan istilah teori dialogisme—dapat pula disebut teori dialogis. Berkaitan dengan hal ini, Faruk (2010:213) justru menyebutkan bahwa apabila dibandingkan dengan teori Bakhtin yang lain, yaitu fenomenologis dan fungsionalis, teori ini pada prinsipnya dapat digolongkan ke dalam tradisi marxis karena ia bermula dari tradisi itu. Meskipun tidak dapat dipungkiri, dari usaha yang dilakukannya untuk menyelesaikan berbagai problematika yang ditinggalkan oleh teori sosiologi sastra marxis, teori Bakhtin secara perlahan bergerak menuju teori yang bernapaskan teori postmodernis.

Teori dialogisme yang digagas Bakhtin merupakan konstruksi konseptual yang koheren atau bersangkut paut, merentang dari filsafat antropologis, epistemologi humaniora, teori genre sastra, hingga karya sastra. Dalam hal ini, hal paling mendasar yang menjadi pondasi utama teori dialogisme adalah konsep pemikiran yang berkorelasi dengan antropologi filosofis, yaitu tentang konsep “otherness” atau “orang lain”. Paham ini merumuskan konsep keberadaan manusia di sisi lain, yang didasarkan pada pemikiran bahwa manusia menilai dirinya dari sudut pandang orang lain, keberadaan manusia tidak dapat dipisahkan dari orang lain, sebab manusia juga berada dalam kesadaran orang lain. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Bakhtin (dalam Faruk, 2010:233) bahwa manusia mengagungkan dirinya dari kacamata orang lain, ia memafhumi dan mempertimbangkan dirinya melalui keberadaan orang lain, dan secara terus-menerus manusia memahami kehidupannya dalam tataran kesadaran orang lain. Hal inilah yang kemudian melahirkan anggapan bahwa pada hakikatnya kehidupan manusia adalah sebuah dialog.

Buah pikir tentang ketakterelakkan orang lain dalam kesadaran manusia ini berhubungan dengan teori estetika Bakhtin. Ia merumuskan konsep eksistensi manusia yang menempatkan “orang lain” sebagai pihak yang memiliki peranan yang esensial. Dalam teori dialogisme, other sangat dibutuhkan oleh self, sebab self tidak pernah bisa melihat keberadaan dirinya secara penuh dan utuh. Keutuhan ini baru muncul manakala ada orang lain yang hadir ikut menunjukkan keutuhan diri. Relasi dialogis setara yang terjalin antara self dan other inilah yang kemudian membangun kesadaran antara kedua belah pihak dan mengakibatkan timbulnya tindakan yang saling merespons kehadiran satu sama lain (Wibowo dalam Mashur, 2013:239).

Berpangkal dari konsep pemikiran itu, di bidang epistemologi, Bakhtin mendeklarasikan bahwa pada hakikatnya objek ilmu alam dan ilmu humaniora itu berbeda sama sekali. Bakhtin (dalam Faruk, 2010:218) menjelaskan bahwa objek ilmu alam adalah benda mati yang absen dalam wacana. Sementara itu, objek humaniora adalah “roh” yang justru memunculkan dirinya dalam wacana sehingga dalam kelanjutannya ia melibatkan perkara resepsi dan penginterpretasian wacana orang lain. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh untuk memahami objek humaniora, selain melalui pemahaman dialogis yang di dalamnya terdapat penilaian dan juga respons.

Oleh karena perhatian ilmu humaniora adalah makna, pikiran, dan pengertian atau pemahaman yang hadir dari orang lain dan semua hal itu termaktub di dalam teks yang mengandung kenyataan langsung dan membentuk dirinya, maka yang menjadi objek ilmu humaniora bukan sekadar teks saja, melainkan juga manusia yang bertindak sebagai produsen atau pihak yang menghasilkan teks yang bersangkutan. Dalam hal ini, dapat dipahami bahwa objek humaniora adalah subjek yang pada tatarannya saling berhadapan dengan subjek lain dan melakukan relasi dialogis

Keanekaragaman ilmu humaniora membuat Bakhtin menawarkan suatu konsep atau cara pandang lain yang disebut dengan istilah translinguistik. Bakhtin (dalam Faruk yang mengutip Todorov, 218—219) menuturkan bahwa yang menjadi objek translinguistik adalah wacana yang bersifat konkret, terikat oleh konteks sosial, kultural, dan historisnya yang pada bagiannya ditampilkan dalam tuturan-tuturan yang sifatnya individual. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa suatu tuturan baru memiliki makna ketika berada dalam hubungan dialogis yang terbangun dari berbagai tuturan yang di baliknya terdapat subjek yang melakukan tuturan kolektif. Keterikatan tuturan dengan konteks sosial ini membuat tuturan tidak dapat lepas dari sifat relasi dialogis (intertekstual). Setiap kata atau tuturan merupakan reaksi terhadap kata atau tuturan lain. Bakhtin (dalam Faruk, 2010:223) menjelaskan bahwa tidak ada anggota kelompok verbal yang dapat memperoleh kata-kata dalam bahasa yang netral, bebas dari aspirasi dan evaluasi orang lain, tidak dihuni oleh suara-suara lain. Dalam hal ini, tuturan itu bukan sesuatu yang kosong dan bebas dari keberadaan tuturan lain.

Pada hakikatnya konsep dialogis merupakan negasi prinsip monologis. Apabila dipetakan, dalam monologis kata atau tuturan hanya menghayati komunikasi saja—satu suara. Dengan kata lain, segala informasi—termasuk di dalamnya makna—hanya dimanifestasikan atau diungkapkan melalui satu sudut pandang (otoriter), bebas dari suara yang lain. Sementara itu, di dalam pemikiran dialogis, suara-suara dan berbagai konteks yang lain itu turut keluar dan bergema mengeluarkan suara—sudut pandang, pemikiran, ideologi—sehingga berbagai pandangan ideologis berlanggaran dengan kata-kata atau tuturan. Bakhtin (dalam Susanto, 2012:184) merumuskan bahwa tidak ada tuturan yang terjadi atau terbentuk tanpa adanya hubungan dengan tuturan yang lain. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa hubungan yang bersifat semantis atau dialogis ini terbangun dari dua karya verbal atau dua karya tuturan yang saling berhubungan dan/atau saling memasuki satu sama lainnya. Hubungan yang khas dari relasi-relasi semantis pada bagiannya harus dibangun secara khusus pula melalui keseluruhan ujaran. Dalam hubungan ini berisi atau berdiri subjek-subjek yang bersifat aktual atau potensial yang satu sama lainnya saling berujar.

Perlu diingat bahwa taraf intertekstualitas tuturan itu beranekaragam, ada tuturan yang memang mencapai taraf intertekstualitas yang tinggi, rendah, atau bahkan tidak ada sama sekali. Oleh karena itu, dapat dikategorikan tuturan mana yang bersifat monologis dan tuturan mana yang bersifat dialogis. Bakhtin (dalam Faruk, 2010:225—226) menjelaskan bahwa suatu tuturan dapat dianggap monologis apabila di dalamnya hanya mengandung satu suara yang eksis, yang tidak lain adalah suara pengarang, juga tidak ada kombinasi berbagai suara. Sementara itu, suatu tuturan dapat dipandang dialogis manakala di dalamnya terdapat banyak suara yang eksis—ada suara lain selain suara pengarang. Dalam hal ini, dapat dimafhumi bahwa monologis hanya mengarah pada satu kebenaran mutlak yang hadir dari pengarang, sedangkan di dalam dialogis termaktub berbagai suara atau sudut pandang yang satu sama lainnya saling mengekspresikan diri melalui berbagai bentuk perilaku, kesadarannya tidak manunggal dengan pengarang, dan justru mengintegrasikan bentuk perilaku yang berbeda itu dalam hubungan yang bebas, terbuka, dan komunikatif.

Puisi dapat dikategorikan sebagai tuturan monologis, sebab galibnya puisi hanya memuat intensi penyair saja sehingga antara wacana yang dibangun dengan keberadaan penyair itu tidak ada jarak sama sekali. Dalam pada itu, tuturan dialogis secara konkret dapat dijumpai di dalam prosa, terlebih novel, sebab novel merupakan capaian tertinggi prosa yang taraf intertekstualitasnya sangat kuat. Faruk (2010:226) mengemukakan bahwa di dalam novel dialogisme merupakan vitalitas yang hadir dari dalam langgam keberadaannya dan langgam ekspresi yang mengalihkan struktur semantik dan sintaktik wacana yang bersangkutan sehingga perhatian timbal-balik yang dialogis menjadi peristiwa wacana sendiri melalui penghidupan dan pendramatisasian segala aspeknya. Manusia yang berbicara dan wacanan menjadi objek yang mendasar sehingga yang paling utama adalah citra bahasa, bukan manusia. Oleh karena itu, yang kemudian terlihat adalah interaksi dialogis antarwacana.

Novel berpotensi mengahsilkan berbagai macam wacana yang memiliki kadar yang berdeda. Berkaitan dengan hal ini, Bakhtin akhirnya menciptakan beberapa kategori wacana dialogis. Dari beberapa kategori yang dibuat, pertama-tama Bakhtin membedakan wacana menjadi wacana linear dan wacana pictural. Apabila wacana linear berkecenderungan membangun garis yang tegas dan eksternal bagi wacana yang lain sehingga dapat dipandang bersifat otoriter, wacana pictural justru melesapkan batas-batas dan menghancurkan benteng ketertutupan wacana lain (demokratis). Hal ini mengimplikasikan di dalam wacana linear, heterologi tidak masuk ke dalam novel, ia hanya berada di luar sehingga manghasilkan wacana yang monologis. Di pihak lain, yaitu di dalam wacana pictural, hetelorogi hadir, bergabung, dan tinggal di dalamnya, menjalin interaksi secara bebas tanpa ada aspek-aspek yang membatasi—seperti hierarki—sehingga mengasilkan wacana yang dialogis dan kesemua itu dianalogikan sebagai karnival. Sebenarnya, dalam skema wacana dialogis ini, Bakhtin juga memsisahkan wacana pasif dan aktif, wacana paradigmatik dan sintagmatik, serta wacana tersirat dan tersurat.

Istilah karnival tidak dapat dipisahkan dari dialogisme, sebab karnival merefleksikan adanya interaksi yang bebas dari individu-individu dalam suatu wilayah. Bakhtin (dalam Suwondo, 2001:3) menjelaskan bahwa perilaku karnival menempatkan dunia sebagai milik khalayak tanpa terkecuali sehingga siapa pun yang berada di dalamnya dapat membina dan melakukan interaksi atau dialog secara bebas, dekat dan erat, tidak dibatasi oleh dogma, sistem, tatanan, atau bahkan hierarki sosial sekalipun. Kehidupan karnivalistik memungkinkan hadirnya keheterogenan (heteroglosia), yaitu adanya banyak aksen, gaya, atau suara yang bebas yang tiap-tiapnya mampu berdiri dan membangun dialog dengan yang lain. Misalnya, di dalam novel, tokoh-tokoh atau subjek hadir bersamaan secara simultan mengonstruksikan hubungan dialogis yang saling ditembus dan menembus. Selain hadirnya dialog antartokoh, juga memungkinkan muncul pula suara pengarang yang pada bagiannya dapat membangun hubungan atau dialog dengan dirinya sendiri, tokoh, atau bahkan pembaca.

Karnival ini menjadi penting karena ia merupakan pembuka jalan atas lahirnya novel polifonik, istilah yang dideklarasikan Bakhtin ketika ia melakukan pengkajian terhadap karya-karya prosa Dostoevsky. Novel polifonik dipahami sebagai novel yang di dalamnya terkandung kemajemukan suara—sudut pandang dalam melihat dunia—atau kesadaran yang kesemuanya bersifat dialogis dan penuh makna. Bakhtin (dalam Suwondo, 2001:22) menjelaskan bahwa di dalam novel polifonik suara-suara tokoh justru bebas, independen, merdeka, tidak terobjektivikasi oleh pengarang, mampu berdiri di samping, bisa tidak sependapat, bahkan bisa memberontak pengarang sekalipun. Suara-suara dan kesadaran yang ada tergabung dalam suatu kesatuan peristiwa tertentu yang unik.  Oleh karena itu, tokoh-tokoh dalam novel polifonik merupakan subjek untuk perkataan atau tuturannya sendiri, bukan objek perkataan pengarang. Tokoh-tokoh ini bisa membina relasi dialogis (melakukan dialog) dengan suara yang lain.

Prinsip utama bangunan novel polifonik adalah interaksi dan koeksistensi (hadir bersama dan berdampingan). Artinya, di dalam novel polifonik antara tokoh atau suara yang satu dengan yang lainnya itu saling membina hubungan dan merespons keberadaan satu sama lain secara setara, tanpa menginforioritaskan suara lain atau mengsuperiorkan diri sendiri. Bakhtin (dalam Suwondo, 2001:24—25) mengatakan bahwa dialog bermula dari titik yang sama, yaitu pada awal kesadaran. Kesadaran ini hadir secara bersama-sama atau beriringan dengan kesadaran yang lain sehingga pada prinsipnya kesadaran tidak terpumpun pada dirinya sendiri, tetapi bergabung dengan kesadaran yang lain dalam sebuah hubungan. Dengan begitu, pemikiran dan pengalaman tokoh bersifat dialogis yang pada pelaksanaanya tidak lepas dari polemik yang saling kontradiksi, tetapi, meskipun begitu, mereka tidak menutup berbagai aspirasi yang hadir dari luar diri mereka, mereka berdialog secara berdampingan dan bebas dalam keadaan setara. Dengan demikian, kebenaran-kebenaran yang timbul saling berhadapan atau bertentangan secara dialogis membentuk sebuah dialog dan kebenaran-kebenaran baru. Di dalam dialogisme, hubungan dialogis ini tidak hanya mencakup kesadaran tokoh-tokoh saja, tetapi di sisi lain pengarang dan pembaca juga dapat turut menjadi peserta dialog.

Kepolifonikan dan kedialogisan dapat diidentifikasi melalui perilaku karnival. Di dalam karya sastra sendiri (baca: novel), tindakan karnival termanifestasikan di dalam situasi plot dan komposisi (struktur). Bagaimana segala unsur, termasuk posisi pengarang dan dialog tokoh itu dipetakan, diarahkan pada suatu hubungan yang dialogis atau justru monologis. Komposisi novel polifonik sendiri dibangun oleh dua perangkat dasar, yaitu sinkrisis—penjajaran berbagai sudut pandang mengenai sebuah objek—dan anakrisis—provokasi yang berupa ungkapan atau situasi yang mendesak pihak lain bersuara secara utuh dan penuh. Keduanya mendialogisasikan berbagai pemikiran itu menjadi ungkapan, dialog, hingga pada akhirnya mengubahnya menjadi relasi dialogis antarsubjek atau antarindividu (Suwondo, 2001a:58).

Sebelumnya telah disinggung perihal intertekstual—kemungkinan suatu teks berkaitan dengan teks yang telah ada sebelum ia diciptakan. Di dalam teks tentu memuat gagasan. Bakhtin (dalam Suwondo, 2001b:33) menyebutkan bahwa gagasan yang ada di dalam karya sastra tidak hanya berkorelasi dengan realitas dirinya sendiri, tetapi lebih jauh dari itu ia berkelindan dengan gagasan yang berasal dari suara zaman, suara yang notabene memiliki kedudukan yang lebih besar. Hal ini sejalan dengan apa yang telah dikatakan oleh Bakhtin di awal-awal tulisan ini bahwa tidak ada tuturan yang lepas dari tuturan lain, sebab sebuah tuturan merupakan respons atau reaksi terhadap tuturan lain. Di sisi lain, gagasan juga selalu terlahir dari sesuatu yang telah ada. Ia tidak mungkin tercipta dari kekosongan. Berkaitan dengan hal ini, sebagai wujud dari sebuah tuturan, karya sastra juga selalu berhubungan secara dialogis dengan karya sastra yang lain. Hubungan ini disebut dengan istilah dialog intertekstual.

Di dalam karya sastra, dialogisasi antara karya sastra dengan teks-teks yang lain dapat ditelusuri melalui manifestasi ringkasan, kata, ungkapan, atau wacana yang dikutip di dalam teks yang bersangkutan. Penelusuran ini memungkinkan ditemukannya teks-teks yang memang benar-benar didialogisasikan atau tidak. Suatu teks tidak benar-benar didialogisasikan apabila teks yang bersangkutan hanya hadir semata tanpa memiliki hubungan dengan peristiwa atau situasi yang berlangsung di dalam karya yang mencoba mendialogisasikan. Suatu teks baru benar-benar berdialogisasi apabila makna keseluruhan dalam teks yang lain itu terdialogisasikan dengan karya teks yang sekarang. Maksudnya, di dalam dialogisasi ini ada keterkaitan makna, persoalan, atau situasi. Apa yang ada di dalam teks lain masuk ke dalam kesadaran tokoh. Dialogisasi yang mengadirkan suatu perbedaan mendasar atau adanya pembaruan makna, maka dialogisasi tersebut bukan sekadar menghimpun atau mendialogisasikan secara transformatif atau hipogram, melainkan juga secara dialektis atau dialogis. Di dalamnya terjalin respons, penolakan, pengukuhan, pemelintiran, atau yang lainnya. Hal ini merepresentasikan suatu proses hubungan suara yang saling berdialog.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat ditarik benang merah bahwa dialogisme merupakan teori yang merumuskan bahwa suatu hal tidak dapat dipisahkan atau lepas dari keberadaan hal lain, sebab suatu hal atau tuturan baru bermakna manakala berada dalam hubungan dialogis yang terbangun dari berbagai tuturan yang di baliknya terdapat subjek yang melakukan tuturan. Dialogisme membina hubungan yang komunikatif dan terbuka antarberbagai suara. Antara suara yang satu dengan suara yang lain berada dalam posisi yang setara membangun hubungan dialogis yang mengarah pada pemafhuman kesadaran sehingga saling memeberikan respons, membangun keutuhan dan makna lain. Hubungan dialogis ini tidak bersifat saling meniadakan (otoriter), tetapi justru saling menghargai (demokratis). Berkaitan dengan makna, makna tidak diproduksi secara mutlak melalui satu sudut pandang (dipatok pada satu konsensus), tetapi melalui proses pertukaran gagasan-gagasan dan pemikiran-pemikiran yang pada akhirnya ditarik pada suatu makna atau kebenaran baru yang juga bukan akhir. Setiap subjek atau individu mempunyai porsi untuk mendialogkan berbagai hal sebab pada hakikatnya kehidupan adalah dialog.



Daftar Pustaka

Faruk. 2010. Pengantar Ssosiologi Sastra: dari Strukturalisme Genetik sampai Post-modernisme. Edisi revisi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Manshur, Fadlil Munawar. “Teori Dialogisme Bakhtin dan Konsep-Konsep Metodologisnya.” Jurnal Sasdaya, Vol. 1(2): 235—249.

Susanto, Dwi. 2012. Pengantar Teori Sastra. Yogyakarta: CAPS.

Suwondo, Tirto. 2001a. Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis. Yogyakarta: Gama Media.

_______. 2001b. “Olenka, Chairil Anwar, dan Sartre: Kajian Dialogis.” Jurnal Pangsura, Vol. 13(7): 33—48.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen "Metamorfosa"

KKPK: Jalin Kelindan Antara Angin Segar yang Memabukkan dan Kegelapan yang Tak Bertepi

Tubuh adalah Situasi: Subjektivitas Perempuan Menurut Simone de Beauvoir

Mengenal Hakikat Esai sebagai Bangunan yang Menawarkan Ruang dengan Penuh Cita Rasa