Postingan

KKPK: Jalin Kelindan Antara Angin Segar yang Memabukkan dan Kegelapan yang Tak Bertepi

  “Give us books,” say the children, “give us wings.” 1 Betapa menggetarkan ungkapan di atas: bombastis sekaligus mengkhawatirkan. Bombastis sebab ungkapan metaforis itu secara pasti menyuarakan dan melegalkan kebutuhan anak akan bacaan. Melalui kesempatan berfantasi lewat cerita, dengan polos, riang gembira, dan gagahnya, anak dapat terbang bebas mengarungi dunia tanpa kerisauan. Mengkhawatirkan sebab tidak sedikit ruang dalam cerita itu justru menawarkan spektrum kegelapan yang dapat membawa anak terbang ke sisi-sisi dunia yang bias dan mengerikan. Di dunia yang fana ini manusia membumi bersama cerita. Cerita menjelma menjadi bagian dari daging manusia yang turut membangun, mendokumentasikan, serta mengekalkan suatu pemikiran dan peradaban. Tidak akan ada cerita tanpa manusia dan tidak ada manusia tanpa cerita. Bahkan, manusia besar dan sejati adalah manusia yang tumbuh dengan cerita-cerita, dengan dongeng-dongeng, dengan kisah-kisah. Semua orang, tanpa terkecuali, butuh dan senang d

Minilik Sisi Lain dari Cap 'Pintar' dan Cap 'Bodoh'

Gambar
Hakim menghakimi. Begitulah dunia ini bekerja dalam setiap hela napasnya. Napas setiap insannya barangkali tidak pernah absen, barang satu atau dua kali, pasti pernah menunaikan penghakiman. Menjadi hakim tentulah menyenangkan sebab dengan begitu, setidaknya bisa membawa diri pada penjelmaan sesuatu yang menginsafi pembenaran, mempunyai kendali atas sesuatu, dan tentu saja menjadikan diri sebagai orang yang lebih baik dan paling paham akan perkara yang sedang dihakimi. Setidaknya, itu diyakini oleh setiap ‘hakim’ yang tersebar di berbagai penjuru dunia: rumah, sekolah, kantor, jalanan, pemerintahan, lingkungan pertemanan, lingkungan keluarga, di kota-kota, di desa-desa, sampai pada lekuk-lekuk bumi yang tersembunyi dan tidak tertembus pandangan. Oleh karena itu, bukan suatu keganjilan manakala banyak orang yang berlomba-lomba menghakimi, baik secara sadar, tidak sadar, atau ironisnya malah hanya ikut-ikutan tanpa tahu duduk perkara dan akibatnya. Memang, dunia ini menggemaskan layaknya

Tubuh adalah Situasi: Subjektivitas Perempuan Menurut Simone de Beauvoir

  Subjektivitas dalam ranah kajian feminis mengarah pada perasaan, pikiran sadar, dan makna diri dari seorang individu. Itu artinya, subjektivitas perempuan berkelindan dengan kesadaran perempuan dalam mempersepsi diri dan tubuhnya, baik dalam konteks dirinya sebagai individu maupun dalam relasinya dengan laki-laki. Perempuan yang mengukuhkan subjektivitasnya mempunyai kemungkinan yang besar untuk terhindar dari berbagai bentuk subordinasi atau objektifikasi yang dilakukan oleh laki-laki dan masyarakat di lingkungan sekitarnya. Menurut   Moi (1999: 7) , hal yang harus digarisbawahi dari pemikiran Beauvoir tentang subjektivitas perempuan adalah bahwa proses pembangunan dan perwujudan subjektivitas perempuan senantiasa secara langsusng terlibat dan berkelindan dengan tubuh serta pengalaman fisik yang dalam praktiknya tidak ditentukan secara esensial atau biologis. Dalam hal ini, pembedaan atas dasar seks atau gender tidak menjadi dasar dari rumusan subjektivitas yang disampaikan oleh Bea

Mengenal Hakikat Esai sebagai Bangunan yang Menawarkan Ruang dengan Penuh Cita Rasa

         Mungkin sekali banyak orang yang terperangkap dalam skema tulisan yang terlibat dalam kesesatan, keluar dari tujuan awal, atau bahkan tidak sesuai dengan sesuatu yang dipahaminya sejak semula. Hal ini merumuskan dan mengindikasikan bahwa tidak sedikit pula orang yang hendak menulis esai, tetapi justru terjerembab pada sesuatu yang bukan esai. Begitu pula sebaliknya, mungkin banyak orang yang membuat sebuah tulisan yang berbentuk esai, tetapi penulisnya tidak menyadari bahwa sesuatu yang ditulisnya adalah esai. Kekeliruan dan ketidakpahaman ini layaknya kawan karib bagi manusia. Keberadaannya tidak pernah absen merongrong, apalagi jika dikaitkan dengan hakikat manusia sebagai makhluk yang tidak selalu sempurna, lepas dari kesalahan.      Semestinya kecenderungan anggapan manusia yang memandang keterlibatan manusia dalam ketidaksempurnaan sebagai sesuatu yang wajar jangan selalu dijadikan kambing hitam dan dalih untuk untuk mendapatkan pewajaran sekaligus pembenaran. Ibarat or

Pintu Masuk ke Dalam Sebuah Paradigma Teori Sastra: Perlukah Teori Sastra?

Sebuah pernyataan menohok berkenaan dengan hakikat sastra—yang barangkali juga diakui oleh banyak pihak—disampaikan oleh A. Teeuw, seorang ahli sastra dan budayawan, dalam bukunya yang berjudul Sastra dan Ilmu Sastra . Di dalam bukunya itu, ia mendeklarasikan bahwa ilmu sastra menjadi satu-satunya cabang ilmu yang objek utamanya sama sekali tidak tentu, bahkan tidak karuan (Teeuw, 2013: 5). Pernyataan ini tentu saja tidak akan pernah absen dan sulit untuk dibantah, mengingat, sampai detik ini pun belum ada orang yang mampu merumuskan dan memberi jawaban yang tegas dan pasti terhadap hal yang paling mendasar tersebut. Banyak di antaranya yang hanya menitikberatkan pada satu atau beberapa aspek saja, alhasil hanya mampu merambah sastra tertentu. Namun, tidak sedikit pula yang memberikan batasan yang terlalu luas sehingga banyak hal-hal yang bukan sastra juga masuk ke dalamnya. Problematika mengenai definisi sastra ini memang belum menemukan titik terang yang bisa membuat semua orang meng

Manifestasi Dialogisme Bakhtin: Dari Dasar Pemikiran hingga Wujud Teorinya

            Berbicara tentang teori yang berada di tataran wilayah kajian budaya dan sastra, maka aliran Bakhtin tidak akan absen dari khazanah tataran tersebut. Aliran Bakhtin merupakan paham yang dikonstruksikan oleh sekumpulan sarjana Soviet yang bergerak pada akhir masa Formalisme Rusia pada tahun 1920 (Suwondo, 2001a:12). Sejak awal perkembangannya, aliran ini berupaya mensintesiskan dua aliran yang notabene saling kontradiksi. Kedua aliran yang dimaksud adalah Marxisme—aliran yang memandang bahwa kajian sastra tidak lain merupakan studi ideologis sehingga dalam praktiknya teks sastra ditempatkan dalam lingkungan ideologis yang keseluruhannya dikendalikan oleh struktur ekonomi masyarakat—dan formalisme—aliran yang menganggap karya sastra sebagai konstruksi bahasa sehingga teks sastra diperlakukan sebagai objek kajian yang otonom, lepas dari aspek-aspek di luar dirinya. Bakhtin dan Medvede (dalam Suwondo, 2001a:13) menjelaskan pensintesisan tersebut dilakukan atas dasar paradigma j