Pintu Masuk ke Dalam Sebuah Paradigma Teori Sastra: Perlukah Teori Sastra?

Sebuah pernyataan menohok berkenaan dengan hakikat sastra—yang barangkali juga diakui oleh banyak pihak—disampaikan oleh A. Teeuw, seorang ahli sastra dan budayawan, dalam bukunya yang berjudul Sastra dan Ilmu Sastra. Di dalam bukunya itu, ia mendeklarasikan bahwa ilmu sastra menjadi satu-satunya cabang ilmu yang objek utamanya sama sekali tidak tentu, bahkan tidak karuan (Teeuw, 2013: 5). Pernyataan ini tentu saja tidak akan pernah absen dan sulit untuk dibantah, mengingat, sampai detik ini pun belum ada orang yang mampu merumuskan dan memberi jawaban yang tegas dan pasti terhadap hal yang paling mendasar tersebut. Banyak di antaranya yang hanya menitikberatkan pada satu atau beberapa aspek saja, alhasil hanya mampu merambah sastra tertentu. Namun, tidak sedikit pula yang memberikan batasan yang terlalu luas sehingga banyak hal-hal yang bukan sastra juga masuk ke dalamnya.

Problematika mengenai definisi sastra ini memang belum menemukan titik terang yang bisa membuat semua orang menghela napas lega. Perbedaan mengenai konsep sastra itu sendiri hadir sebagai bentuk representasi dari kenyataan bahwa sastra bukan sebuah konsep yang statis. Sebaliknya, ia begitu dinamis. Kedinamisan ini disebabkan oleh adanya perbedaan ruang, waktu, persepsi, dan fungsi yang mana semua ini dapat dijelaskan secara luas melalui hubungan sastra dengan kondisi historis yang notabene beranekaragam serta norma-norma sastra yang sesuai dengannya. Susanto (2012:1) menyebutkan bahwa rumusan mengenai apa itu sastra sangat bergantung pada banyak faktor seperti cara pandang, konteks, geografi budaya, sampai pada ikatan budaya setiap masyarakat dan cara pandang mereka dalam melihat dunia dan juga realitas. Dengan begitu, bukan suatu keganjilan apabila konsep sastra itu begitu plural dan tidak pernah abadi.

Sastra merupakan suatu karya kreatif yang kerapkali dimaknai berbeda dari setiap zaman dan ruangnya. Bentuk konkret dari adanya perbedaan konsep sastra dalam sistem ruang ini dapat kita lihat dan jamah dari khazanah sastra yang ada di negeri Barat dan Cina. Sebenarnya, bagaimana mereka merumuskan dan menyusun konsep sastra dalam kaitannya dengan bentang ruang yang sama sekali jauh dan berbeda ini? Di dalam tradisi Cina, sastra begitu tradisional dan berhubungan erat dengan Tuhan. Ia ditempatkan sebagai parameter moralitas dan pragmatis. Sastra ada untuk hukum-hukum alam. Sementara itu, di belahan dunia Barat sastra justru dipandang sebagai mimesis dari alam. Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah mengapa keberadaan ruang ini mampu membuat perbedaan perumusan sastra yang begitu kontras? Dalam hal ini, latar belakang budaya dan tingkat persepsi yang berbeda dari masing-masing penghuni ruang tersebut dapat diasumsikan sebagai beberapa faktor yang menjadi penyebab utamanya.

Sebagaimana yang telah disinggung sejak awal, sastra begitu dinamis. Pandangan terhadapnya dari masa ke masa memperlihatkan perubahan dan/atau pergeseran paradigma. Ada pandangan yang menempatkan sastra pada konsep politis, ideologis, ada yang bersifat ekonomi, sosial, dan di era sekarang sastra sudah mulai memasuki dunia digital—internet. Tentu saja, untuk bisa mempelajari, mengkaji, dan memahami sudut pandang terhadap sastra secara tepat dan mendalam, baik dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain atau dari satu waktu ke waktu yang lain diperlukan suatu pijakan dan/atau alat. Lantas, pijakan dan/atau alat yang seperti apakah itu?

Dunia ilmu sastra terbagi ke dalam tiga bidang, di antaranya ada kritik sastra, sejarah sastra, dan teori sastra. Ketiganya merupakan bidang yang berbeda, tetapi satu sama lainnya saling mendukung, terkait, dan melengkapi. Pada prinsipnya, kritik sastra merupakan suatu aktivitas penghakiman terhadap karya sastra. Dalam hal ini, karya sastra dievaluasi untuk dipertimbangkan baik dan buruknya. Sementara itu, sejarah sastra merupakan kerangka historis mengenai perkembangan karya sastra dan teori sastra adalah bidang yang berupaya untuk menerangkan apa sebenarnya sastra itu, bagaimana fungsinya, seperti apa hubungan teks dengan pengarang selaku penciptanya, bahasa, masyarakat, dan pembaca sebagai suatu konstruksi.

Susanto (2011:17) menyebutkan bahwa sebagaimana sastra itu sendiri, teori sastra juga memiliki beragam pengertian. Keberagaman pengertian ini timbul sehubungan dengan paradigma yang dibawanya. Dalam hal ini, teori sastra dapat didefinisikan sebagai seperangkat ide-ide dan metode yang dipergunakan dalam praktik pembacaan terhadap sastra dengan nilai-nilai tertentu. Kita dapat memaknai teori sastra sebagai sebuah pisau yang berfungsi untuk membedah dunia sastra dan keberadaannya, termasuk di dalamnya karya sastra sehingga diperoleh suatu pemahaman utuh mengenai apa yang dibedah. Teori sastra pada prinsipnya mempelajari bagaimana manusia memandang sastra dan segala keberadaannya sebagai suatu objek dan realitas. Ia menelaah paradigma-paradigma, kaidah-kaidah, dan berbagai pemikiran suatu masyarakat mengenai sastra itu sendiri.

Teori sastra lahir sebagai bentuk penggumpalan berbagai sudut pandang dari pengamatan terhadap kesusastraan. Ia merupakan skema kategorisasi dari hasil-hasil kritik terhadap kesusastraan. Dari kategorisasi ini kita dapat melihat perbedaan-perbedaan mendasar dari segala hal yang berkaitan dengan keberadaan sastra, seperti ini semiotika, ini sosiologi sastra, ini strukturalisme, feminisme, dan sebagainya. Sebagai contoh, ketika kita akan mengkaji unsur-unsur kemasyarakatan dalam sebuah karya sastra, maka sosiologi sastra dapat menjadi teori atau pendekatan yang dapat kita gunakan untuk mengkajinya. Poetika—cara pengarang membuat sebuah karya—dan estetika—cara seorang pengamat melihat sebuah karya—karya sastra juga dipetakan dalam teori sastra

Sementara itu, sehubungan dengan kepastiannya sebagai bagian dari ruang lingkup ilmu sastra, teori sastra memberikan kontribusi untuk dua bidang ilmu sastra lainnya—sejarah sastra dan kritik sastra. Dalam kritik sastra, teori sastra berperan sebagai batu pijakan bagi para kritikus dalam memberikan penghakimannya. Tentu saja, untuk menghasilkan suatu interpretasi dan penilaian yang mendasar dan objektif serta jauh dari kesubjektifan diperlukan landasan yang jelas dan komprehensif. Berkaitan dengan hal itu, teori sastra sudah pasti memenuhi kriteria sebagai landasan yang jelas dan komprehensif ini. Dalam hubungannya dengan sejarah sastra, teori sastra bertindak sebagai “pembantu” dalam menentukan dan menyusunan perkembangan sejarah sastra. Ia turut menjadi dasar dalam pengkajian terhadap, misalnya, motif-motif yang menjadi ciri khas karya sastra dalam suatu zaman.

Menjawab pertanyaan yang sudah diajukan sejak awal, sesungguhnya keberadaan teori sastra bukan lagi sekadar diperlukan, melainkan kehadirannya begitu penting. Apabila ia tidak ada, tidak dapat disangsikan, dunia sastra akan berada di ambang bayang-bayang “kebutaan” dan para pengkaji—termasuk di dalamnya mahasiswa sastra sebagai seorang pembelajar—seperti orang yang kehilangan petunjuk arah di tengah padang pasir yang begitu luas dan panas. Mereka membutuhkan petunjuk dan minum. Namun, semua itu sulit untuk dicapai. Mereka hanya mampu berjalan tanpa kepastian.



Daftar Pustaka

Susanto, Dwi. 2012. Pengantar Teori Sastra. Yogyakarta: CAPS.

Teeuw, A. 2013. Sastra dan Ilmu Sastra. Cetakan Keempat. Bandung: Pustaka Jaya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen "Metamorfosa"

KKPK: Jalin Kelindan Antara Angin Segar yang Memabukkan dan Kegelapan yang Tak Bertepi

Tubuh adalah Situasi: Subjektivitas Perempuan Menurut Simone de Beauvoir

Manifestasi Dialogisme Bakhtin: Dari Dasar Pemikiran hingga Wujud Teorinya

Mengenal Hakikat Esai sebagai Bangunan yang Menawarkan Ruang dengan Penuh Cita Rasa