Minilik Sisi Lain dari Cap 'Pintar' dan Cap 'Bodoh'




Hakim menghakimi. Begitulah dunia ini bekerja dalam setiap hela napasnya. Napas setiap insannya barangkali tidak pernah absen, barang satu atau dua kali, pasti pernah menunaikan penghakiman. Menjadi hakim tentulah menyenangkan sebab dengan begitu, setidaknya bisa membawa diri pada penjelmaan sesuatu yang menginsafi pembenaran, mempunyai kendali atas sesuatu, dan tentu saja menjadikan diri sebagai orang yang lebih baik dan paling paham akan perkara yang sedang dihakimi. Setidaknya, itu diyakini oleh setiap ‘hakim’ yang tersebar di berbagai penjuru dunia: rumah, sekolah, kantor, jalanan, pemerintahan, lingkungan pertemanan, lingkungan keluarga, di kota-kota, di desa-desa, sampai pada lekuk-lekuk bumi yang tersembunyi dan tidak tertembus pandangan. Oleh karena itu, bukan suatu keganjilan manakala banyak orang yang berlomba-lomba menghakimi, baik secara sadar, tidak sadar, atau ironisnya malah hanya ikut-ikutan tanpa tahu duduk perkara dan akibatnya. Memang, dunia ini menggemaskan layaknya pertunjukan ketoprak.

Dewasa ini, dalam peradaban manusia yang canggih dan katanya beradab, tidak sedikit di antaranya ada orang yang menghakimi seseorang dengan menyematkan cap tertentu. Syukur-syukur kalau itu memang cap yang menyenangkan dan menggembirakan. Bagaimana dengan cap yang justru menyesakkan dada dan mematikan kedirian seseorang? Itu hanya akan membawa diri ke dalam jurang yang mampu merusak kegemilangan adab dan beradab yang diagungkan tadi. 

Mencap orang lain dengan kata ‘pintar’ atau ‘bodoh’ sudah menjadi hal yang galib, menjamur di berbagai belahan dunia mana pun, layaknya makanan pokok sehari-hari yang tidak boleh dilewatkan. Jika dilewatkan, maka kelangsungan hidup akan terganggu. “Dia pasti bisa melakukannya. Dia tahu segalanya. Dia ‘kan pintar.” Atau, “Ah, dia pasti tidak bisa apa-apa. Tidak ada yang bisa diharapkan darinya. Dia ‘kan bodoh.” Dan serangkaian kalimat lainnya yang merujuk pada penyematan cap ‘pintar’ dan cap ‘bodoh’. Ironisnya, tidak jarang perkataan tadi itu diucapkan oleh orang-orang terdekat yang berada di lingkungan sekitarnya, semisal teman sepermainan, keluarga, sampai pada orang tua sekalipun. Padahal, disadari atau tidak, proses pencapan itu akan sangat berpengaruh terhadap diri seseorang yang diberi cap tersebut, layaknya doa yang diafirmasikan untuk dilanggengkan.

Orang yang diberi cap ‘pintar’ alias orang yang tahu ini, tahu itu, bagus dalam pemelajaran, barangkali akan merasa senang. Bangga atas dirinya sendiri, sebab hal itu mengafirmasikan branding diri yang positif. Syukur-syukur kalau kemudian hal itu lantas tertanam dalam dirinya untuk menjadi orang yang benar-benar pintar. Tidak dapat dipungkiri, mungkin sekali banyak orang yang dicap ‘pintar’, tetapi sebenarnya tidak terlalu ada isinya. Di lingkungan akademik misalnya, banyak sekali pendidikan yang hanya sekadar melahirkan orang yang pintar berteori, tetapi miskin pengalaman sebagai akibat dari adanya penyempitan makna belajar menjadi sekadar mempelajari materi-materi pemelajaran sebagaimana yang telah digariskan oleh pemerintah. 

Tentu saja, tidak selamanya cap ‘pintar’ itu menyenangkan. Tidak jarang malah sebaliknya, menimbulkan perasaan risih, tidak nyaman, dan beban yang berlipat ganda. Orang yang telanjur dicap ‘pintar’, secara langsung membuka lebar-lebar pintu harap orang lain akan kehadiran dirinya. Sebagai orang yang dicap ‘pintar’, ia dituntut dan divonis secara saklek untuk bisa melakukan segala hal dan memecahkan beragam masalah. Begitulah kedilematisan yang hidup di dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Beban prasangka dan wasangka menjadi kawan karib yang setia menemani manusia dan dengan lancangnya enggan beranjak. Ketidakmampuan untuk memenuhi ekspektasi dan harapan semua orang inilah yang bisa membuat orang yang dicap ‘pintar’ itu ditiban beban yang berlipat ganda yang bisa saja berdampak pada perkembangan psikis dan membuatnya terus-menerus merutuki dunia. Jerome Polin boleh saja pandai matematika dan mengetahui segala seluk-beluknya, tetapi mungkin saja ketika dihadapkan dengan situasi yang mengharuskannya membuat es goyobod, ia sama sekali kosong, tidak mempunyai keterampilan itu.

Di sisi yang sama-sama kurang menyenangkan, orang yang dicap ‘pintar’ selalu dijadikan sebagai tolak ukur atau dibanding-bandingkan dengan anak yang lain. Padahal, hidup ini bukan ajang untuk mencari mana yang paling. Semua orang sama saja, sama-sama diberi akal, kekurangan, dan kelebihan masing-masing. Semua orang di dunia ini, tanpa terkecuali, mempunyai tempat dan porsi kemampuannya masing-masing.

Sementara itu, bagi orang yang dicap ‘bodoh’, nasibnya lebih mengenaskan lagi. Mereka selalu dipandang sebelah mata dan diidentikkan dengan kata malas, tidak mau berpikir, tidak mau belajar, lamban, nilai ulangan jeblog, orang yang tidak memiliki masa depan yang jelas. Inilah, itulah, seperti tidak ada kata baik untuk mereka. Buruknya, orang yang dicap ‘bodoh’ acap kali dijadikan sasaran empuk untuk diejek dan dirundung oleh orang-orang yang tentu saja merasa lebih baik darinya. Padahal, mereka juga mempunyai hak untuk hidup dengan nyaman dan layak dalam rangka mengembangkan diri. Seseorang yang mencap ‘bodoh’ orang lain, secara tidak langsung telah menyemarakan kehancuran diri orang yang dicap tersebut. Dengan gagah dan seenaknya malah mengafirmasikan branding buruk, tanpa bepikir dan melihat sesuatu yang lain. Seseorang yang tidak menunjukkan kemampuannya di depan khalayak, bukan berarti tidak mempunyai kemampuan sama sekali. Hanya saja mereka membutuhkan ruang untuk berkembang dengan nyaman, bukan malah dirutuki, diejek, dicaci-maki, dan dirundung. 

Lihat, Albert Einstein. Semasa sekolah, Einstein dianggap bodoh hanya karena ia sangat lamban dalam menyerap pelajaran yang diberikan oleh guru. Tidak sedikit yang menyebutnya idiot atau dungu. Namun, beberapa tahun kemudian, dunia justru dibuat tercengang. Einstein berhasil menjadi seorang ilmuan besar dan menemukan Teori Relativitas. Jika saja waktu itu semua orang ramai-ramai mengusir Einstein dari muka bumi ini hanya karena dianggap bodoh, idiot, dungu, dan gila, mungkin saja dunia, khusunya dunia fisika, tidak akan mengetahui Teori Relativitas.

Contoh lain, seperti Aristoteles yang di kelasnya sering menduduki rangking atau peringkat terakhir, Thomas Alva Edison, Charles Darwin, dan masih banyak lagi orang yang dicap ‘bodoh’ semasa kecil dan remaja, tetapi mampu mencapai masa dengan yang gemilang. Dengan kata lain, anak yang dicap ‘bodoh’ sebenarnya mempunyai kesempatan yang sama dengan anak yang dicap ‘pintar’ dalam upaya mengembangkan dirinya.

Sayangnya, dampak negatif dari pencapan kerap kali diabaikan. Cap-cap itu malah disematkan oleh orang-orang dekat, bahkan tidak jarang terucap dari para pendidik di lingkungan akademis yang seharusnya menjadi wadah yang nyaman bagi semua orang untuk mengembangkan diri.

Orang yang dicap ‘bodoh’ tidak selamanya berhenti dalam kebodohan, tetapi dapat juga menunjukkan sesuatu yang hebat dan istimewa yang mungkin saja berdampak besar bagi perkembangan peradaban manusia.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen "Metamorfosa"

KKPK: Jalin Kelindan Antara Angin Segar yang Memabukkan dan Kegelapan yang Tak Bertepi

Tubuh adalah Situasi: Subjektivitas Perempuan Menurut Simone de Beauvoir

Manifestasi Dialogisme Bakhtin: Dari Dasar Pemikiran hingga Wujud Teorinya

Mengenal Hakikat Esai sebagai Bangunan yang Menawarkan Ruang dengan Penuh Cita Rasa